Cerita Panji yang tersiar dalam tuturan rakyat, sastra, tari, atau seni pertunjukan lainnya sebenarnya merupakan transformasi dari kisah-kisah yang didedahkan dalam relief-relief candi di Jawa Timur. Berkembang sejak abad ke-12 Masehi di masa Kerajaan Kediri, cerita Panji meluas hingga Bali, Lombok, Sulawesi, bahkan hingga Thailand, Vietnam, dan Myanmar seiring meluasnya pengaruh Majapahit di kawasan Asia Tenggara.
Cerita Panji dari abad ke-14 dari masa Majapahit dapat dilacak pada relief-relief candi-candi di Jawa Timur seperti Candi Mirigambar, Candi Surowono, dan Candi Tegowangi. Relief semacam juga ditemukan pada candi-candi di Gunung Penanggungan, seperti Candi Wayang, Candi Gajah, Candi Kendalisodo, dan Candi Selokelir.
Gambaran Panji pada relief candi-candi di Jawa Timur tersebut dapat dikenali melalui sosok seorang ksatria bertopi (tekes) bersama sang kekasih disertai beberapa pengiring (kadeyan) atau punakawan. Secara umum, cerita Panji—sebagai puisi kidung—berkisah tentang Pangeran Panji dari Jenggala dan Putri Candrakirana dari Daha (Kediri), yang bertunangan, tetapi kemudian terpisahkan. Setelah pencarian panjang terhadap satu sama lain dan sesudah Panji memenangi banyak peperangan dan dua-duanya mengatasi banyak halangan, barulah mereka bertemu kembali dan menikah. Istilah panji sudah ada sejak zaman Kerajaan Kediri.
Menurut Lydia Kieven, peneliti Panji, dalam bukunya Menelusuri Panji di Candi-candi (KPG, 2014), ada banyak versi cerita Panji yang tidak lagi diketahui, dan bahkan versi tertulis yang telah hilang. Khazanah cerita Panji mengandung makna simbolis majemuk. Cerita-cerita ini melambangkan ideal hubungan seksual suami-istri dan menampilkan karakter erotis yang panas.
Cerita Panji juga dapat menyimbolkan kesuburan dengan menggambarkan Panji sebagai titisan Dewa Wisnu dan Candrakirana sebagai inkarnasi Dewi Sri, dewi padi. Pada tataran politik, cerita Panji mencerminkan pembelahan historis tanah Jawa menjadi Kerajaan Jenggala dan Kerajaan Daha, serta klaim-klaim dan perjuangan para pangeran dan raja untuk menyatukan kedua belahan ini.
Lebih jauh Lydia Kieven mengatakan dalam bukunya, “Dalam pergolakan abad ke-15, cerita Panji dan penggambarannya menjadi semakin penting. Tempat suci di gunung, yang semakin banyak dibangun pada masa itu dan terpusat di Gunung Penanggungan, merupakan tempat bagi kaum bangsawan untuk undur dari situasi kacau dunia dan mencari wejangan dari pertapa-pertapa yang dihormati. Ajaran religius, yang berisi pelajaran doktrin Tantra rahasia, juga terarah pada tujuan meraih kekuatan spiritual, kesaktian, yang akan mempersiapkan para bangsawan ini untuk menghadapi tantangan zaman. Cerita Panji yang digambarkan di sini menggabungkan semua aspek simbolis: simbolisme religius doktrin Tantra, simbolisme politik ke-ksatria-an, dan penyatuan belahan-belahan kerajaan. Kombinasi dari simbolisme religius dan simbolisme politik inilah yang khususnya memicu peningkatan popularitas cerita Panji.”
Istilah panji
Boleh disimpulkan bahwa istilah panji—yang sudah ada sejak zaman kerajaan Daha—merujuk pada gelar atau jabatan tokoh ksatria laki-laki yang berhubungan dengan lingkungan istana dari masa kerajaan Kediri. Dia bisa seorang raja, putra mahkota, pejabat tinggi kerajaan, kepala daerah, atau pemimpin pasukan. Istilah “panji” atau ‘apanji” atau “mapanji” ini terus digunakan hingga masa Singhasari dan Majapahit.
Penelusuran Indonesiana, Prasasti Banjaran 975 Saka (1053 M) dari periode awal Kediri merupakan prasasti tertua yang menggunakan istilah “panji”. Prasasti yang masih in situ (di tempat asalnya) ini menyebutkan nama rajanya, yaitu Sri Mapanji Alanjung Ahyes. Prasasti Hantang 1057 Saka (1135 M) dari masa Kediri juga menggunakan istilah “panji”. Prasasti ini, yang disimpan di Museum Nasional, menyebutkan nama raja Sri Maharaja Apanji Jayabhaya. Para pejabat kerajaannya menggunakan gelar panji seperti Mapanji Kabandha, Mapanji Mandaha, dan Mapanji Daguna.
Di masa Singhasari, pejabat tinggi kerajaanya juga memakai gelar panji seperti Rakryan Demung Mapanji Wipaksa dan Rakryan Kanuruhan Mapanji Anunda. Kitab Pararaton juga mencatat keturunan Ken Arok juga menggunakan nama panji, antara lain Panji Anengah—nama lain Anusapati—, Panji Saprang, dan Panji Tohjaya.
Benar yang dikatakan Lydia bahwa, “Berlanjutnya tema Panji dalam lukisan dan tari Bali, dalam ragam wayang Jawa, dan dalam apa yang di Jawa masa kini disebut ‘Budaya Panji’,menegaskan pentingnya dan tetap populernya tema Panji. Keindahan tradisi Panji dalam aneka ragam seni mungkin masih dapat berfungsi menciptakan langö —rasa terpesona.” (CG)